Selagi aku beres-beres lemari dan rak buku, ada salah satu buku yang saat kusentuh tiba-tiba memberikan sebuah cerita. Kau tahu, kenangan mudah sekali datang. Bisa lewat lagu, benda, ataupun tempat. Lagi pula, banyak cara untuk mulai mengenang. Mungkin cara mudahnya bisa dimulai dengan membuka tumpukan kardus berisi barang-barang lama. Pilih salah satu benda secara acak, setelah itu pandangi, dan biarkan ia berkisah.
Nah, kira-kira begitulah yang terjadi denganku. Buku yang saat ini kupegang ialah buku kumpulan cerita A. S. Laksana, Murjangkung. Aku memiliki dua buku itu. Yang satu sudah kubeli sejak lama, satunya lagi adalah pemberian temanku, Rani.
Aku sebetulnya memegang buku yang milikku sendiri. Namun, buku itu otomatis mengingatkanku kepada Rani. Mataku pun segera mencari buku yang satunya lagi. Setelah melihatnya berada di rak sebelah kanan dan baris nomor dua dari bawah, aku mengambil buku yang masih terbungkus plastik itu. Berikut beberapa buku lainnya yang juga masih tersampul plastik dan belum sempat terbaca. Kupandangi buku-buku itu, hingga aku dibawa ke sebuah cerita sekitar setahun silam.
Sehari sebelum Rani berangkat ke Yogyakarta untuk meneruskan kuliah S2-nya, kami sepakat bertemu di Kafe Wirdy, Jakarta Barat. Rani lah yang tiba-tiba mengajakku berjumpa. Katanya, sebagai salam perpisahan, sebab ia mungkin tidak akan kembali lagi dalam 2 atau 3 tahun. Selain urusan kuliah, ia mungkin juga ingin merasakan tinggal di Jogja.
Seperti biasa, aku sampai lebih dulu di kafe itu. Selain karena tidak suka membuat orang menunggu, lokasinya memang lebih dekat dari rumahku. Sepuluh menit berselang, barulah Rani sampai ketika dari kejauhan tercium aroma parfumnya. Tidak menyengat, begitu segar, dan sudah kukenali.
Sumber: Pexels
“Bisa enggak, sih, kamu sekali-sekali datang terlambat, Dit?”
Aku awalnya cuma tersenyum untuk memberi respons. Sampai melihat ia membawa tas punggung, barulah aku bertanya, “Bukannya masih besok berangkatnya, Ran?”
Sejauh yang kutahu, anak ini enggak pernah membawa tas punggung setiap pergi keluyuran denganku. Ia tidak mau ribet menggendong tas.
Biasanya ia hanya memegang dompet, yang setelah itu dititipkan ke dalam tasku. Sekalinya bawa tas, paling cuma membawa tas selempang kecil. Yang berisi dompet dan alat rias favoritnya: bedak bayi dan lipstik.
“Oh, ini,” ujarnya sambil membuka ritsleting tas. “Ada yang mau aku kasih ke kamu.”
Ia pun memberikanku tiga buah buku; Murjangkung—yang kusebutkan di awal cerita, Baju Bulan (Joko Pinurbo), dan Kolam Darah (Abdullah Harahap).
“Maksudmu ngasih aku buku kayak gini apa?”
“Kita, kan, kenalan awalnya dari buku. Aku entah kenapa merasa berutang buku kepadamu. Masih ingat hari itu, kan?”
Tahun 2015 pada bulan Mei dan bertepatan dengan Hari Pendidikan, aku masih ingat betul hari itu. Kami bertemu dengan tidak sengaja di sebuah bazar buku. Awalnya aku dari jauh memperhatikan sebuah buku yang sebelumnya kukenali. Aku pernah ikut kuis yang hadiahnya buku itu, tapi sayangnya belum bernasib baik. Lalu begitu menemukan buku itu lagi di tumpukan buku yang diobral di sebuah bazar, mendadak muncul hasrat untuk membelinya.
Bodohnya, aku tidak menyadari keadaan di sekitarku. Begitu sudah dekat dengan buku itu, ternyata ada seorang perempuan yang sudah terlebih dahulu mengambil bukunya. Rupanya, kami melihat satu buku yang sama: Draf 1 Taktik Menulis Fiksi Pertamamu.
Aku pun berdiri mematung, masih tidak percaya kalau gagal Iagi memperoleh buku itu. Ia tiba-tiba menoleh ke arahku. Aku pun salah tingkah, refleks garuk-garuk belakang kepala dan tersenyum. Ia kemudian membalas senyumku. Manis sekali. Seperti melihat kue brownies. Brownies yang memiliki bibir, mata agak sipit, dan rambut sebahu. Tak lama, ia malah berjalan menghampiriku. Baiklah, sekarang ia brownies yang dapat berjalan. Aku membalikkan badan, pergi ke arah tumpukan buku yang lain.
“Kamu tadi mau ngambil buku ini juga?” katanya.
Aku menoleh, lalu menunjuk diriku sendiri.
“Iya, kamu barusan sepertinya mau ngambil buku ini,” ujarnya sambil memperlihatkan buku itu kepadaku. “Tapi malah aku yang ambil duluan.”
“Oh, enggak apa. Itu buat kamu aja. Nanti aku cari yang lainnya. Mungkin masih ada stoknya.”
“Aku bantuin cari kalau gitu.”
Aku udah bilang kalau hal itu akan merepotkannya, tapi ia tetap membantuku mencari buku itu. Ya, enggak ada salahnya juga sih, pikirku. Setelah 20 menit berusaha mencari-cari buku yang sama dan tidak juga membuahkan hasil, Rani pun menyerah.
“Sepertinya tinggal satu yang kuambil ini. Maaf, ya, enggak ketemu lagi bukunya,” katanya begitu pasrah.
Mungkin ia mulai lelah mencari dan ada urusan lain yang lebih penting. Jadilah, aku mengatakan untuk tidak perlu membantuku lagi dalam menemukan bukunya. Aku juga bilang kalau telah memiliki buku panduan menulis lain, yakni Creative Writing (A.S. Laksana).
“O iya, namaku Akbar Aditya,” ujarku menyodorkan tangan kanan untuk bersalaman. “Panggil aja ‘Adit’, karena kalau ‘Akbar’ enggak cocok sama badanku yang kurus.”
Ia tertawa kecil mendengarku berkelakar semacam itu. Ia menjabat tanganku. Melihat tangannya, aku merasa agak aneh. Jarang sekali warna kulit tanganku lebih putih dari seorang perempuan. Jarang memakai sarung tangan setiap mengendarai motor membuat kulit tanganku belang. Namun, aku baru menyadari kalau kulit perempuan ini sawo matang. Karena saat melihat parasnya tadi, ia tampak cerah. Mungkin wajahnya sering dibasuh air wudu.
“Tirani Meliyana. Boleh panggil apa saja.”
Aku membatin, panggil perempuan-sialan-yang-tiba-tiba-merebut-buku-dariku, boleh?
Lalu aku tertawa sendiri dengan lelucon itu.
“Kenapa? Namaku ada yang aneh?”
“Di kamus, Tirani kalau enggak salah artinya: kekuasaan yang seenaknya sendiri,” aku sengaja memberi jawaban yang berbeda dari yang aku tertawakan sebelumnya.
“Wah, egois sekali. Aku bahkan enggak tahu sebelumnya.”
“Semoga kamu bukan orang seperti itu.”
Ia tertawa lagi. “Soal nama panggilan tadi, sebenarnya temen-temenku, sih, biasa memanggil ‘Tira’ atau ‘Meli’. Kamu boleh memilih salah satunya.”
Alih-alih memilih kedua pilihan tersebut, aku malah bilang, “Lebih enak memanggilmu Rani.”
“Kok?”
Alasanku memanggilnya “Rani” dan kejadian setelahnya, aku betul-betul lupa. Yang aku ingat justru sebelum kami berpisah, aku mengatakan untuk bertukar kontak. Mungkin kalau besok-besok ada bazar lagi, nanti bisa janjian datang dan mencari buku bersama. Begitulah caraku meminta nomornya. Lucunya, ia langsung memberikan begitu saja dan mengetikkan nomornya di ponselku. Yang lebih tidak kusangka, begitu sampai rumah dan mulai mengontaknya, aku baru sadar ternyata diberikan nomor sedot WC. Jamban! Rani mengerjaiku. Kenapa enggak sekalian nomor telepon badut sulap?
“Udah bengongnya? Enggak usah segitunya kali mengenang pertemuan kita,” kata Rani, membuyarkan kenangan yang sedang kunikmati pelan-pelan itu. “Mau pesen apa? Udah laper nih.”
Aku pun protes kepadanya karena mengganggu hobi aneh sekaligus favoritku: melamun. Begitu Rani mengeluh lapar lagi, barulah aku memanggil pramusaji. Rani memesan machiatto dingin dan, karena kurang suka kopi, aku memilih es teh leci. Makanan yang kami pesan sama: roti panggang telur kornet.
Soal bagaimana kami bisa berteman, karena beberapa hari setelah pertemuan itu, Rani ternyata menemukan blogku dan mengirimkan surel. Surat yang berupa permintaan maaf dan nomornya yang asli. Sejak itu, kami jadi sering berburu buku bersama dan mendiskusikan buku-buku yang habis dibeli dan dibaca itu.
“O iya, soal buku yang kamu kasih ini, sebetulnya aku udah punya,” aku membuka obrolan sembari menunggu pesanan.
“Serius?” tanya Rani, yang tiba-tiba cemberut.
Aku mengangguk.
“Yah, telat ngasih berarti aku. Padahal lumayan susah tuh dapetin A. S. Laksana yang Murjangkung. Kamu, kan, kayaknya suka banget sama cerpen-cerpennya beliau. Makanya, waktu itu aku sengaja beli dua pas ada bazar. Kebetulan juga sisa segitu, sih. Pas kubaca, ternyata emang seru bukunya. Humornya Pak Sulak (panggilan akrab A. S. Laksana) keterlaluan kerennya.”
“Terus gimana nih?” tanyaku, kebingungan karena dikasih buku yang sudah kumiliki.
“Emang udah punya semua?”
“Cuma Kolam Darah yang belum pernah baca. Baru tahu juga soal penulisnya.”
“Baca deh tulisan Abdullah Harahap itu. Meskipun horor, menurutku ada sisi lucunya.”
“Oke, Ran. Dua buku yang lain berarti kukembaliin nih?”
“Yeh, enggak usah. Aku, kan, juga udah punya.”
“Terus?”
“Jual aja,” ujar Rani, lalu cekikikan sendiri.
Sumber: Pexels
Selagi bingung menanggapi perkataannya barusan, syukurnya pramusaji datang untuk mengantarkan pesanan kami. Aroma roti panggang itu menggodaku untuk segera menggasaknya. Suasana pun mendadak hening, sebab Rani tidak suka berbicara sambil makan. Baguslah. Aku pun bisa memikirkan kalimat ketidaksetujuanku akan pernyataannya tadi. Begitu makanan yang di meja sudah dilahap habis, barulah aku tahu untuk merespons apa.
Aku kemudian protes kalau menjual pemberian orang lain itu berarti enggak menghargai perasaan orang yang sudah memberikan hadiah.
“Kok kamu bisa bilang begitu?”
Aku mengaduk-aduk es teh leci, lalu memperhatikan dua buah leci yang berputar itu seraya mengingat sesuatu. Setelah ingat akan suatu hal, aku pun bercerita kalau pernah diberikan pacarku—yang kini sudah jadi mantan—sebuah jam tangan.
Karena setiap melihat jam tangan pemberian dari mantanku itu dadaku rasanya sesak, aku pun menyimpannya di kardus bersama benda-benda yang sudah jarang dan tidak terpakai. Sampailah ketika aku dan mantan pacarku itu tidak sengaja bertemu di lorong kampus. Awalnya kami bertukar kabar dan mengobrol baik-baik. Nah, begitu ia melihat pergelangan tangan kananku yang tidak mengenakan jam yang dihadiahkannya, ia bertanya kepadaku, kenapa jam yang ia berikan itu enggak dipakai?
Aku mengatakan kepadanya kalau jam itu hilang. Ia langsung marah-marah. Aku pun menirukan perkataan mantanku saat itu, “Bohong! Kamu jual pasti, kan? Sumpah, kamu jahat ya, Dit. Jahat banget! Kamu tuh enggak bisa apa sedikit aja menghargai pemberianku? Aku benci sama kamu, Dit!”
“Sehabis ngamuk kayak gitu, ia pergi begitu saja,” kataku.
“Drama banget,” ujar Rani, lalu tertawa terbahak-bahak sampai lupa tempat kalau suaranya itu bisa mengganggu pengunjung lain. Namun, aku pun jadi ikutan tertawa mengingat hal bodoh itu. Menertawakan diri sendiri seperti ini, kupikir asyik juga.
“Tapi bukannya dia yang ninggalin kamu untuk laki-laki lain, ya? Kok masih peduli gitu?”
Aku menjawab entahlah dan mencoba untuk mengalihkan topik. Sungguh, aku mulai malas mengingatnya lagi. Apalagi membicarakannya. Sialnya, Rani malah terus meledekku. Hingga ia pun bertanya, “Lantas, bagaimana denganmu yang kehilangan dia, ya? Apa dia enggak memikirkan perasaanmu?”
“Mungkin aku juga tidak memikirkan perasaannya.”
“Kok?”
“Ya, dengan menjawab seenaknya kalau jam itu hilang. Mungkin aku bisa bilang kalau ada di rumah dan lupa memakainya. Kupikir, responsnya pasti berbeda. Akhirnya, jam yang ia kasih itu pun belum lama ini hilang betulan ketika aku sedang merapikan kardus-kardus itu. Aku jadi menyesal sudah bilang begitu dan benar-benar menghilangkan jam pemberiannya.”
“Kenapa kamu mendadak jadi merasa bersalah?” Rani bertanya dengan suara yang tidak biasa. Seperti ikut bersedih dan memberikan simpati kepadaku.
“Seperti katamu, mungkin bisa dijual. Lumayan, kan, uangnya?”
“Dih, sialan! Adit ternyata emang berengsek!”
Aku gantian cengengesan melihat wajahnya yang berubah masam. Tak lama, ia pun ikut tertawa. Mungkin menertawakan dirinya sendiri yang sudah memasang tampang serius, ketika berharap akan mendengar curhatanku yang menyedihkan, tapi aku malah meledeknya dengan pernyataan dia sendiri.
“Lantas, kenapa kamu tadi malah menyuruhku menjualnya kalau aku sudah punya buku itu? Apakah nanti aku sama saja tidak menghargai pemberianmu itu? Seperti yang pernah dikatakan mantan pacarku?”
“Aku tidak berpikir sejauh itu, Dit,” kata Rani, lalu meminum machiatto-nya. Setelah itu, ia terdiam dan mengetukkan jarinya ke meja seperti sedang berpikir. Aku masih menunggu jawabannya.
“Aku cuma ingin memberikanmu hadiah,” kata Rani. “Kalau ada orang yang bilang, menjual barang pemberian orang lain itu salah dan bisa membuat orang itu kecewa, rasanya bukan urusanku. Lagian, aku yang menyuruhmu untuk menjualnya, kan? Daripada kamu membuangnya?”
“Aku enggak akan pernah membuang buku. Tapi nanti pemberianmu sia-sia dong kalau kujual?”
“Tidak ada yang sia-sia menurutku. Menerima pemberian, menurutku juga sudah bentuk menghargai. Bukannya kalau dijual nanti kamu jadi dapat uang?”
Rani memang kurang ajar! Entah kenapa, anak ini sering sekali menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
“Hmm, kalau kamu bingung jawabnya, begini deh,” ucap Rani, kemudian menghela napas dan mendengus. “Kamu ketika jatuh cinta dan menjalin hubungan pasti menitipkan atau memberi hatimu untuk orang lain, kan?”
“Lalu apa hubungannya?”
“Untuk urusan hati saja, manusia banyak yang tidak menghargainya. Saat aku memberikan hati kepada seorang cowok yang aku sayang, tapi suatu hari dia merusak seenaknya. Membohongiku dan memilih perempuan lain. Meninggalkan luka. Itu jauh lebih keji daripada menjual barang pemberian.”
“Kayaknya sekarang kamu mulai berpikir terlalu jauh, Ran.”
“Eh ... iya juga, ya? Jadi curhat pula.”
Kami tertawa bersamaan.
Begitu tawa kami reda, aku memprotes kalau hati enggak bisa disamakan dengan buku atau barang pemberian lainnya. Rani lagi-lagi menyangkal kalau bukan itu poin yang dia maksud. Kami pun terus berdebat soal menghargai pemberian itu baiknya harus bagaimana. Mungkin kami punya pandangan yang berbeda tentang itu. Makanya enggak akan pernah ketemu jalan tengah.
“Intinya gini deh,” ujar Rani, memotong pembicaraanku yang ngotot enggak mau menjual buku pemberiannya. “Kamu pokoknya udah aku kasih hadiah tiga buku itu. Selanjutnya itu urusanmu. Kamu mau simpan, buang, atau jual, terserahlah. Semua keputusan itu ada padamu.”
“Yang aku belum punya, udah pasti dibaca terus simpan. Karena suatu hari bisa kubaca ulang.”
“Ya udah, baguslah kalau gitu.”
“Buku yang lain gimana?”
“Dih, ini anak nyebelin! Aku, kan, tadi udah bilang terserah!”
Aku lagi-lagi cekikikan.
“Kalau boleh memberikanmu saran, kamu mungkin bisa menjual buku itu, lalu nanti dibelikan buku lagi yang belum kamu punya. Buku yang bakalan kamu simpan dan enggak akan pernah dijual. Mungkin buku itu bisa untuk mengenang. Maka, nanti carilah buku yang betul-betul mengingatkanmu padaku. Carilah buku yang bagus. Jadi ingatanmu padaku pun sama bagusnya.”
“Hah?” aku terkejut sama perkataannya barusan. Perempuan ini memang enggak bisa ditebak. Idenya ada-ada saja. Aku spontan bilang, “Tanpa buku pun, kamu akan selalu kuingat.”
“Semoga kamu sedang tidak membual.”
Aku tersenyum dengan sangat terpaksa. Kalimatnya terasa getir. Pertemuan itu pun malah berakhir kurang baik. Kami belum berjumpa lagi sampai saat ini, sebab Rani tidak sekali pun pulang ke Jakarta, atau aku yang belum bisa berkunjung ke Yogyakarta.
Ternyata, ucapanku pada waktu itu adalah sebuah bualan. Aku sempat lupa mempunyai teman sepertinya. Kalau bukan karena buku Murjangkung itu, mungkin aku betulan lupa, bahwa ada seseorang bernama Tirani Meliyana. Seorang teman yang membeli buku panduan menulis fiksi, tapi sampai sekarang aku enggak pernah membaca tulisannya. Aku bahkan enggak tahu apakah dirinya mempunyai blog.
Tahun ini, kami juga sudah jarang sekali bertukar kabar. Sibuk dengan kehidupan masing-masing. Aku enggak tahu bagaimana keadaannya di sana. Aku rada sungkan untuk mengontaknya. Aku enggak bisa mengintip aktivitasnya di media sosial. Sedari pertama berteman, kami memang cuma kontakan lewat WhatsApp. Tidak ada saling mengikuti akun medsos. Katanya, ia tidak suka bersenang-senang di kehidupan maya.
Jadi, ia tidak membuat satu pun akun seperti Facebook, Twitter, atau Instagram. Aku baru sadar, rupanya di era digital seperti ini, masih ada orang yang betul-betul tidak bisa diakses ketika mengetikkan namanya di pencarian Google. Wajahnya pun mulai samar-samar di ingatanku.
Tiba-tiba mataku berkaca-kaca. Rani ini betul-betul sialan. Sambil tetap memegang buku pemberiannya itu, aku masih berusaha untuk terus mengenangnya. Namun, aku sudah tidak banyak mengingat hari-hari bersamanya. Cuma kisah tadi yang bisa kuceritakan.
Pilihanku selama ini untuk terus menyimpan buku yang ia hadiahkan itu, ternyata dapat berguna saat ini. Sayangnya, pemikiran bisa berubah seiring waktu bergerak. Mungkin apa yang Rani bilang kala itu benar. Menerima pemberian juga sudah bentuk menghargai. Aku sudah menghargainya dengan menerima buku itu dan menyimpannya sampai saat ini. Sekarang, aku ingin menjual beberapa buku-buku lama yang sudah jarang dibaca. Uang hasil penjualannya nanti akan aku belikan buku baru. Buku yang selalu mengingatkanku kepada Rani.
Cerpen adalah salah satu konten dari LOOP yang dibuat sebagai wadah promosi bagi anak muda Indonesia yang punya passion menulis dan berani menerbitkan karya cerita pendek tersebut. LOOP memilih karya tulis mereka yang layak di beberapa media digital, kemudian menerbitkan ulang di website loop.co.id atas persetujuan penulis.
Nah, pengen karya tulis kamu diterbitkan di website loop.co.id seperti dia? Kirim contoh karya tulis kamu via email ke: loop-content@insidea.net dengan subject: CERPEN